Cerpen : Nasi Bakar dan Nasi Di Dasar Rice Cooker

by 11.46 0 komentar

cerpen rice cooker maman main

Kembali kukupas daun pembungkus nasi bakar keduaku malam ini, menuangkannya ke dalam piring yang tidak lagi bersih, tidak bersih bukan karena aku jorok, tapi ada sisa “peperanganku” sebelumnya. Nasi Bakar seharga delapan ribu rupiah, yang mana aku harus memesannya sejak pulang sekolah, agar malam harinya tak perlu mengantri. Daun pembungkusnya menghitam di tengah, namun tidak mewakili warna nasi di dalamnya. Warna nasi sudah tidak putih, selain karena proses pembakarannya juga karena bumbu yang sudah meresap ke dalam.

Beberapa malam ini aku makan bersama sahabatku Doni di kos dekat Sekolahku SMA N 5 Pekalongan. Di kamar kos berukuran 3 x 2 meter, kami sering habiskan waktu malam. Temboknya berwarna  putih, walau sudah ketulangtulangan. Pintunya persegi panjang, dengan lebar 70 cm dan tinggi 180 cm, tapi beruntung, ketika aku datang tak pernah disuruh Doni menghitung berapa luas pintu coklat itu.
“Besok-besok sekalian aja tidur di warung nasi bakarnya Man”, Doni sambil beberes memasukkan buku ke dalam tasnya untuk esok hari.
“Enggaklah, seorang Firman ini masih lebih nyaman tidur di rumah, cuma nasi bakarnya aja yang suka”.
“Lama-lama dirimu suka Mbak Putri penjualnya juga Man”
“... , hmmm”
Doni akhirnya bisa menemaniku makan lahap dengan lauk telur kami masing-masing. Telur bebek ceplok dan nasi bakar, sebuah kenikmatan hqq. Telurnya cuma serasa pakai garam dikit, makanya aku suka aduk nasi dan telurnya yang dipotong-potong. Sambil berharap bumbu dari nasinya ikut meresap ke telur. Kenapa nasi nikmat seperti ini hanya berteman telur? Aku tak enak dengan Doni, kalau harus beli dada ayam, uang sakunya harus buat ngekos juga. Ini saja kadang kupaksa dia untuk menemani dengan iming-iming nasinya gratis, telurnya saja yang bayar.

Suap demi suap masuk mulut, butir-butir nasinya mulai menghilang. Dan aku mulai bisa menuduh, bahwa Donilah yang sudah membuat nasiku cepat habis haha. Guyonan receh yang terinspirasi ulah Patrick saat tersesat bersama Spongebob.

“Beberes, masukkan daun dan biting, sekalian dirimu mau titip sampah apalagi, aku pulang lewat penampungan sampah entar Don”.
“Ambil yang di pojokan deket pintu ya Man”
“Woke”

***

“Man, kamu berangkat tolong sambil kasihkan nasi sisa ke Bu Diah, bilang aja buat ayamnya”
“Nasinya sisa mayan banyak ya Bu”
“Iya tadi malam Ibu gabisa habiskan, terima kasih ya Man”
“Sip Bu, sama-sama”
Setelah bercakap di depan rumah Bu Diah agak lama, akhirnya aku bisa sampai ke sekolah setelah melaju cepat mengayuh sepeda melintasi aspal hitam 2 Km. Seperti yang terjadi sebelumnya Bu Diah mengucap terima kasih.
“Terima Kasih ya Firman, ayam-ayam saya suka ini, bisa makin gemuk mereka”
“Iya Bu, jangan kayak saya sering makan, nambah masih kurus, biar nanti kalau ayamnya digoreng keliatan agak besar, haha”

Melaui pembelajaran pagi dengan semangat, Pak Topan ajak kami memulai diskusi secara berkelompok usai membagi kami secara acak dengan Kartu Uno. Biasanya Kartu Uno cuma dipakai untuk “merusak pertemanan” eh malah kami jadi bisa mencari anggota berdasar warna sama atau  angka yang sama. Lumayan gerak-gerak dikit sebelum mikir. Walhasil beberapa anak laki-laki kelas XI Bahasa 1 mengisi meja kantin untuk memesan nasi, saya termasuk duduk di situ walakin tidak ikut makan.

“Kukira Pak Topan mau ajak main Uno beneran tadi” Rudi mengetuk meja pelan dengan jari berurutan dari kelingking hingga telunjuk, sambil memulai orbolan
“Beda penggunaan tapi asyik Rud, seru kelasnya, udah rud, itu nasimu udah dateng” Ujarku yang duduk di bangku panjang di antara Rudi dan Doni.
Kantin semakin ramai, dan berkerumun, namun kami bertiga enggan berpindah. Meja mulai penuh dengan tumpukan piring, ini mungkin ulah rekan-rekan yang belum sarapan dari rumah.
“Alhamdulillah hari ini banyak yang nasinya habis”
“Biasanya banyak yang sisa ya Mbak Nah”, sahutku saat mendengar kalimat hamdalah yang cukup melengking.
“Iya ndung, kalau habis seperti ini, yang masak seneng, ya walau saya gak apa kalau misal ada yang masih sisa, tapi kepuasan tersendiri melihat piringnya bersih, tinggal selanjutnya semoga nasi di rice cooker juga habis”.
“Semoga laris ya Mbak” namun tiba-tiba aku tertegun
“Don, udah brapa kali ya kita makan nasi bakar bareng di kosmu”
“Eh Man, ini kamu bilang seperti itu tiba-tiba dalam rangka apa nih, mau perkirakan seberapa banyak perjumapaanmu dengan Mbak Putri?”
“Bukan, bukan, aku kepikiran aja karena apa yang dibilang Mbak Nah”
“Pengen jualan kayak Mbak Nah dan Mbak Putri?” Doni berujar sambil melangkah menuju kelas, sedang si Rudi memilih untuk ke belakang lebih dahulu
“Bukan itu juga, ini aku jadi kebiasaan makan nasi bakar, dan pagi hari antarkan nasi sisa buat ayam tetangga”
“Ada yang salah man?”
“Ya aku selama ini ga disalahkan si, sudah buat nasi di rumah sisa, ibuku tidak melarang aku cari makan malam di luar”
“Aku heran si Man, aku ngekos, walaupun nasi bakar enak, tapi aku tetap kangen nasi di rumah, walau nasi di rumah masaknya pakai rice cooker, tetap yang aduk dan cuci nasinya orang tuaku”
“Itu si Don, dengar ucapan Mbak Nah tadi, dia bilang seneng masak, dia tidak kecewa saat ada nasi sisa anak-anak di piring. Dia berharap nasinya laku bukan hanya untuk keuntungan, namun juga untuk kepuasan dirinya terhadap ‘karya’nya.”
“Udah nanti malam makan di rumah saja, sesekali boleh, tapi dihindari keseringan”
“Iya ditambah entar ayamnya Bu Diah jadi kalkun, makan nasi kebanyakan”
“Dan nanti Mbak Putri juga mengira kamu modus kalo tiap hari dateng, haha”
“Lah Mbak Putri lagi”.
***
“Kamu ga belajar sama Doni Man” Ibuku menanyai
“Aku pengen makan di rumah Bu”
“Yasudah itu ada sayur jamur sama ayam goreng”
“Akhirnya makan malam dengan ayam tidak utuh” gumamku dalam hati.

Muhammad Abdurrahman

Maman Basyaiban

Pembelajar

Suka belajar bareng anak-anak, Suka board games, Suka nyanyi dalam hati.

0 komentar:

Posting Komentar